
Menaker Ida Fauziyah berdialog dengan pekerja (ilustasi)
Penukis : Erwan Mayulu
Saat ini Kementerian Ketenagakerjaan tengah giat melakukan serap aspirasi dari stakeholder ketenagakerjaan guna mencari masukan untuk merevisi Peraturan Pemerintah No 35 tahun 2021 dan PP No 36 tahun 2021.Kedua PP itu harus direvisi sesuai sebagai pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang UU Cipta Kerja.
Adapun, 2 aturan yang akan dilakukan revisi adalah Peraturan Pemerintah RI Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja (PP 35), serta Peraturan Pemerintah RI Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan (PP 36).
Catatan penulis serap aspiransi telah dilakukan di beberapa kota di Indonesia hingga Agustus 2023 dan direncanakan akan dilaksanakan diseluruh ibu kota provinsi di Indonesia. Dihadiri seluruh steakholder ketenagakerjaan, baik perwakilan dari pekerja/ buruh, pengusaha, pemerintah dan dari perguruan tinggi.
UU No 6 tahun 2023 adalah pengganti UU No 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang diperintahkan Mahkaham Konstitusi untuk disempurnakan.
SOAL PESANGON
Pada UU No 6 tahun 2023 ini diamanatkan beberapa perubahan yang salah satunya adalah mengenai Alih Daya Waktu Kerja yang ada di PP Nomor 35 Tahun 2021 dan Pengupahan di PP Nomor 36 Tahun 2021. Meski menjadi materi didalam PP 35, namun soal pesangon tidak diamanatkan pada perubahan PP 35 ini. Dengan demikian aturan pesangon tetap mengacu pada isi PP 35 saat ini.
Isu pesangon yang menjadi sorotan berbagai elemen pada UU Cipta Kerja dan aturan turunannya,PP No 35 Tahun 2021 . Pasalnya pada beleid baru ini pesangon dipangkas dari 32 kali upah seperti ketentuan di UU No 13 Tahun 2003.
Perhitungan besaran pesangon diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, Serta Pemutusan Hubungan Kerja.
Berikut perhitungan pesangon korban PHK yang diatur pada pasal 40 ayat (2) PP 35 tahun 2021:
Masa kerja kurang dari 1 tahun menerima jumlah pesangon sebanyak 1 bulan upah.
Masa kerja 1 tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 tahun menerima jumlah pesangon sebanyak 2 bulan upah.
Masa kerja 2 tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 tahun menerima jumlah pesangon sebanyak 3 bulan upah.
Masa kerja 3 tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 tahun menerima jumlah pesangon sebanyak 4 bulan upah.
Masa kerja 4 tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 tahun menerima jumlah pesangon sebanyak 5 bulan upah.
Masa kerja 5 tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 tahun menerima jumlah pesangon sebanyak 6 bulan upah .
Masa kerja 6 tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 tahun menerima jumlah pesangon sebanyak 7 bulan upah.
Masa kerja 7 tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 tahun menerima jumlah pesangon sebanyak 8 bulan upah.
Masa kerja 8 tahun atau lebih menerima pesangon sebesar 9 bulan upah
Sementara dalam Pasal 43 diatur, bahwa perusahaan atau pemberi kerja bisa mengurangi jumlah pesangon yang harus dibayarkan kepada pekerja sebagaimana ketentuan yang diatur dalam Pasal 40, apabila perusahaan melakukan efisiensi yang disebabkan karena kerugian perusahaan. Jika memenuhi syarat tersebut, maka perusahaan diizinkan pemerintah untuk memberikan pesangon sebesar separuh atau 0,5 kali dari besaran pesangon di Pasal 40.
Namun, pekerja bisa mendapatkan tambahan berupa uang penghargaan masa kerja sebesar 1 kali dari ketentuan di Pasal 40 ayat (3). Ketentuan pengurangan pesangon juga bisa dilakukan perusahaan apabila ada pengambilalihan perusahaan yang mengakibatkan perubahan syarat kerja dan pekerja tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja (Pasal 42 ayat (2)).
Teoritis Pekerja bersratus pekerja tetap atau Pekerja Waktu Tidak Tertentu (PKWT) sekilas memang terimbas dengan ketentuan ini. Karena haknya berkurang.
Karena itu ketentuan itu menjadi sorotan dari kalangan aktivis pekerja/buruh.
Yang menjadi pertanyaan, mengapa hal itu dilakukan? Hingga mengesankan tidak ada keberpihakan pada pejerja/buruh.
Latar belakang munculnya ketentuan itu karena selama ini ketentuan pemberian pesangon sebanyak 32 kali upah yang diatur dalam UU 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak bisa dilaksanakan sepenuhnya. Ketentuan pesangon sebesar 32 persen itu praktis hanya tertulis, namun prakteknya sulit dilaksanakan.
Menurut Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah, hanya 7 persen perusahaan saja yang mampu mengikuti ketentuan pesangon yang diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Disebutkannya pula, sebanyak 27 persen perusahaan telah membayar pesangon, namun jumlahnya tidak tidak sesuai ketentuan UU Ketenagakerjaan. Artinya, tidak sesuai kesepakatan membayar pesangon sebanyak 32 kali. Ini terjadi karena ketentuan itu terlalu tinggi hingga perusahaan tidak mampu melaksanakannya
KEBERPIHAKAN PADA PEKERJA KONTRAK
Pada buku “Membumikan Isu Ketenagakerjaan”, ber ISBN Perpustakaan Naional (2020), yang ditulis Erwan Mayulu, penulis menyebut justru ketentuan soal pesangon itu sebagai kabar mengembirakan bagi pekerja kontrak atau pekerja berstatus Pekerja Waktu Tertentu (PKWT). Beleid ini sebagai kabar gembira.Soalnya, kini mereka berhak atas kompensasi setiap kali masa kontraknya selesai.
Memang namanya bukan pesangon tetapi disebut kompensasi.
Sebelum ini,pekerja kontrak tidak memperoleh kompensasi setelah menyelesaikan kontraknya. Nasibnya seperti diibaratkan dalam pepatah : habis manis sepah dibuang. Selesai kontrak kerja,tidak mendapatkan apa- apa.
Beda dengan pekerja tetap atau Pekerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT). Saat pensiun mereka mendapatkan pesangon.
Pekerja kontrak diuntungkan dengan UU 11 tahun 2020 yang kini telah dirubah menjadi UU No 6 tahun 2023 tentang Cipta Kerja dan aturan turunannya PP 35 tahun 2021.
Untungnya dimana?
PP 35/2021 mengatur, setiap akhir masa perjanjian kerjanya,pengusaha wajib membayarkan konpensasi pada pekerja.
Sebelumnya,hal ini tidak diperoleh pekerja berstatus PKWT. Berakhir masa kontraknya, pekerja tidak memperoleh apa apa.Tidak ada penghargaan dari perusahaan dalam bentuk kesejahteraan pada pekerja. Habis dipakai tenaganya, jerih payahnya dibuang begitu saja. Tidak dihargai bagai pembungkus permen yang dicampakkan setelah permennya dihisap habis manisnya.
UU Cipta kerja dan aturan turunannya, lebih menghargai pekerja PKWT atau pekerja kontrak. Posisinya benar benar dihargai sebagai pekerja yang telah memberikan kontribusi penting pada perusahaan. Posisinya sama dengan pekerja tetap atau PKWTT. Jika pekerja PKWTT selama ini memperoleh uang pesangon pada setiap akhir masa kerjanya,maka kini hal sama juga dinikmati pekerja PKWT.
Jika PKWTT dapat uang pesangon,maka PKWT mendapat uang kompensasi.
Besararanya?.
-PP 35 menguraikan, besarannta adalah 1 bulan gaji jika telah bekerja selama 12 bulan.
-Jika PKWT bekerja 2 tahun,maka dia memperoleh uang kompensasi 2 bulan upah.
Begitu seterusnya hingga masa kontrak 5 tahun.Ada pun hitungan kurang dari 1 tahun maka dibayar secara proporsional yaitu masa kerja (bulan) dikalikan upah per bulan dibagi 12.
REKOMPOSISI UANG KOMPENSASI BAGI PEKERJA KONTAK (PKWT)
Peratuan Pemerintah (PP) No 35 Tahun 2021 tentang PKWT,Alih Daya,WKWI dan PHK membuka ruang bagi pekerja PKWT atau pekerja kontrak mendapatkan uang kesejahteraan yang cukup pada saat berakhirnya hubungan kerja dengan perusahaan. Namun untuk mendapatkan dana kesejahteraan besar itu , pekerja PKWT itu dituntut disiplin membiasakan diri menabung uang hasil konpensasi yang diterima pada setiap berakhirnya masa kontaknya.
PP 35 Tahun 2021 mewajibkan pengusaha untuk membayarkan uang kompensisasi pada pekrja PKWT saat berakhirnya hubungan kerja. Pada beleid ini ditentukan masa waktu PKWT dapat dilakukan selama 5 tahun secara akumulatif. Artinya, PKWT dapat dilakukan setiap setahun atau dua tahun sekali dan dapat diperpanjang hingga waktu akumulatif 5 tahun. Pengusaha diwajibkan membayarkan uang konpensasinya pada setiap berakhirnya hubungan kerja, setelah itu perjanjian kerja dapat diperpanjang lagi. Pekerja memperoleh uang kompensasi sebesar 1 bulan gaji bagi kontak selama 12 bulan atau satu tahun. Kurang dari satu tahun, dihitung secara proporsional sesuai waktu kerjanya. Misalnya bekerja selama 6 bulan maka uang kompensasinya adalah 12 dibagi 6 dikali jumlah upah .
Jika PKWT bekerja selama 5 tahun maka pekerja mendapatkan 5 bulan upah. Besaran uang itu dapat dinikmati sekaligus apabila pekerja disiplin menabung uang kompensasi dan tidak digunakan untuk keperluan konsumtif setiap berakhirnya hubungan kerja.
Dari sisi kesejahteraan, UU Cipta Kerja lebih memenuhi rasa keadilan bagi pekerja PKWT yaitu dengan adanya pemberian uang kompensasi pada setiap berakhirnya hubungan kerja. Pasal 61 A UU Cipta Kerja menegaskan,pekerja/buruh PKWT berhak atas uang kompensasi PKWT sesuai dengan masa kerja pekerja /buruh di perusahaan yang bersangkutan.
Selama ini hanya pekerja/buruh berstatus pekerja tetap atau Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) yang memperoleh uang pesangon saat berakhirnya hubungan kerja. Kini, pekerja/buruh berstatus PKWT mendapatkan uang kesejahteraan pada saat akhir kontaknya.Namanya memang bukan pesangon tetapi kompensasi. Beda istilah, namun intinya, kini setiap pekerja dalam hubungan kerja memperoleh uang kesejahteraan di masa akhir kerjanya.
Dalam hal pemberian uang kesejahteraan pada akhir masa kerja bagi pekerja/buruh ini yang terjadi adalah rekomposisi uang pesangon. Yang tadinya pesangon hanya diberikan pada pekeja berstatus pekeja tetap atau PKWTT, namun kini pekerja/buruh berstatus PKWT memperoleh uang kompensasi. Jadi, kesan pengurangan jumlah uang pesangon seperti yang selama ini didengungkan sementara kalangan harus dilihat sebagai rekomposisi uang pesangon yang dibagi dan dirasakan manfaatnya oleh pekerja kontak.
Pada UU ini menegaskan PKWT diatur berdasarkan jangka waktu atau selesainya suatu pekerjaan tertentu. PKWT hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu dan tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap.
MEMBESARNYA JUMLAH PKWT
Fenomena beberapa tahun terakhir menunjukan makin membesarnya pekerja berstatus PKWT. Jika pada waktu lalu masih ada aturan yang mengatur soal pekekerjaan inti dan pekerjaan penunjang bagi pekerja PKW, namun kini aturan itu tidak ada lagi.
Akibatnya, perusahaan cenderung menggunakan pekerja PKWT . Namun,belum ada data yang menunjukan berapa besar kini perusahaan menggunakan pekerja PKWT dan berapa banyak perusahaan menggunakan pekerja PKWTT.
Seorang peserta Focus Discussion Group (FGD) yang diselenggarkan Direktorat Pengawasan Ketenagakerjaan,beberapa waktu lalu, mengungkapkan, kini tidak jelas lagi mana pekerja inti dan mana pekerja penunjang di suatu perusahaan. Misalnya di perusahaan jasa penjualanan online, secara logika pekerjaan dipergudangan merupakan pekerjaan inti. Karena jasa penjualan secara online memerlukan banyak gudang untuk stock barang dan melibatkan banyak pekerja. Namun perusahaan bisa saja melihat pekerjaan pergudangan merupakan pekerjaan penunjang dan bukan pekerjaan inti. Justru pekerjaan intinya adalah bidang akutansi.
Demikian pula halnya pada perusahaan – perusahaan sektor lain yang banyak melibatkan pekerja dalam jumlah besar. Akibatnya, pekerja berstatus PKWT makin banyak. Disisi lain tidak ada aturan yang mengatur rasio pekerja berstatus PKWT dan PKWT disuatu perusahaan atau sektor – sektor pekerjaan.
Jika fenomena makin besarnya jumlah pekerja berstatus PKWT maka PP No 35 Tahun 2021 boleh dibilang sebagai katup pengaman dan dipandang sebagai lebih adil dan berpihak pada pekerja.
Bayangkan jika tidak ada aturan pemberian kompensasi ini,sebagian terbesar pekerja tidak memiliki harapan masa depan setelah selesai masa kontraknya. Ketentuan pembeian kompensasi pada setiap berakhirnya masa kontrak pekerja berstauts PKWT, diasakan lebih adil.
SARAN
Meski tidak ada lagi aturan mengenai pekerjaan inti dan pekerjaan penunjang dan status PKWT sebenarnya tidak masalah sepanjang jenis dan sifat atau selesainya pekerjaan dalam waktu tertentu, namun sebaiknya pada setiap perusahaan harus (pasti) ada pekerjaan yang memerlukan pekerja berstatus PKWTT atau pekerja tetap yang biasanya mengerjakan pekerjaan inti dari perusahaan itu. Maka seyogyanya tidak boleh ada di suatu perusahaan yang seluruh pekerjanya berstatus PKWT.
Untuk itu peran pengawasas ketenagakerjaan menjadi kunci.Pengawas ketenagakerjaan harus memastikan dijalankannya ketentuan tentang PKWT dan PKWTT sesuai UU Cipta Kerja.
KESIMPULAN
Materi soal pesangon bagi PKWT sudah sejalan dengan rencana strategis Kemnaker yakni 9 Lompatan Besar merupakan Visi Baru Hubungan Industrial dengan arah kebijakan kepada pengembangan hubungan industrial yang lebih berkualitas dan adil, serta berorientasi pada peningkatan kualitas dan kesejahteraan tenaga kerja secara berkelanjutan.
Karena itu sudah tepat materi soal pesangon bagi PKWT itu tidak ikut direvisi!.
Daftar Pustaka:
Erwan Mayulu,”Membumikan Isu Ketenagakerjaan”, YTPD,ISBN Perpustakaan Naional ( 2022)
Menaker Ida Fauzia,” Hanya 7 persen perusahaan yang mampu mengikuti ketentuan pesangon yang diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan”, Siaran Pers Humas Kemnaker 14/10/2020
UU No 11 tahun 2020 sebagaimana telah dirubah menjadi UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja
PP 35 Tahun 2021 tentang PKWT,Alih Daya,WKWI dan PHK