
Oleh: Erwan Mayulu
RABU, tanggal 1 juli 2015 menjadi hari dan tanggal bersejarah bagi para buruh/pekerja Indonesia. Pasalnya, mulai saat itu untuk pertama kali sejak republik ini lahir, para buruh/pekerja mulai mendapatkan program jaminan pensiun yang diselenggarakan BPJS Ketenagakerjaan. Selama ini hanya pegawai negeri sipil, militer, kopolisian dan pejabat negara memperoleh jaminan pensiun.
Boleh dibilang dengan penyelenggaraan program jaminan pensiun bagi buruh/pekerja ini, negara telah hadir dalam memberikan jaminan sosial bagi para buruh/pekerja. Jaminan pensiun ini melengkapi program Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Kematian, Jaminan Hari Tua dan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan yang sebelumnya telah dilaksanakan sejak era tahun 1980-an.
Jaminan pensiun memang program yang sudah cukup lama dinantikan para buruh/pekerja. Mereka berharap, dengan program jaminan pensiun ini hidup mereka di hari tua tetap sejahtera dan tidak bergantung pada belas kasihan keluarga. Setelah pensiun, tetap memiliki penghasilan dan memiliki harga diri. Sejatinya, filosofi penyelenggaraan jaminan pensiun untuk mempertahankan derajat kehidupan yang layak.
Maka tak heran, hanya dalam tempo sebulan begitu dirilis pada 1 Juli 2015, pada Agustus 2015 telah mendaftar sebanyak 1,5 juta pekerja dan 4.500 perusahaan ! Tren kenaikan kepesertaan terus terjadi tiap bulan. Dalam 3 bulan diluncurkan, Oktober 2015, peserta jaminan pensiun sudah 4,6 juta pekerja. Padahal, target kepesertaan jaminan pensiun selama 6 bulan, hingga Desember 2015 hanya 2 Juta pekerja.
Direktur Umum dan SDM BPJS Ketenagakerjaan, Amri Yusuf mengemukakan, target itu memang dibikin tidak muluk – muluk. Sebab disadari untuk program baru ini diperlukan waktu untuk melakukan sosialisasi dan perusahaan – perusahaan memerlukan waktu juga untuk menyiapkan dananya.
Mengapa begitu besar minat masyarakat pekerja/buruh ikut program Jaminan Pensiun?
Pertama, pelaksanaan program jaminan pensiun ini bersifat wajib berdasarkan undang – undang UU No 24 Tahun 2011. Pekerja jika tidak didaftarkan maka perusahaan diancam ke ranah hukum. Sanksinya lumayan berat, mulai dari peringatan hingga penghentian pelayanan publik tertentu.
Selain itu, program jaminan pensiun merupakan wujud dari mimpi yang begitu lama dinantikan para buruh/pekerja. Semua buruh/pekerja kelak di masa tuanya akan memperoleh uang pensiun bulanan. Pensiun tidak akan menjadi horor menakutkan lagi dimasa depan. Pekerja tidak akan jatuh miskin setelah pensiun.
Kedua, sebagian besar buruh/pekerja tidak diikutkan dalam program dana pensiun melalui Dana Pensiun Pemberi Kerja (DPPK) dan Dana Pensiun Lembaga Keuangan ( DPLK) dan jaminan pensiun yang diselenggarakan BPJS Ketenagakerjaan.
Berdasarkan data pada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) per Desember 2014, buruh/pekerja yang ikut dana pensiun sebanyak 3,63 juta orang. Jika saat ini terdapat 45 juta jumlah buruh/pekerja di dalam hubungan kerja atau di sektor formal, maka sebanyak 41,3 juta buruh/pekerja tidak memiliki jaminan pensiun.
Atau merujuk pada data kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan per oktober 2015, jumlah peserta 19 juta orang, 4,6 juta orang diantaranya telah ikut program Jaminan Pensiun, maka terdapat 14,4 juta pekerja peserta BPJS Ketenagakerjaan belum ikut program Jaminan Pensiun.
Praktis, hanya perusahaan – perusahaan besar swasta nasional dan asing yang memiliki program dana pensiun baik melalui Dana pensiun Lembaga Keuangan (DPLK) dan Dana Pensiun Pemberi Kerja (DPPK). Data OJK menunjukan 3,63 juta pekerja ikut program dana pensiun itu melalui pengelola dana pensiun (dapen) yaitu, sebanyak 243 berbentuk DPPK dan 25 buah oleh DPLK. Dengan kepesertaan relatif kecil itu namun dapen memiliki aset per Februari 2015 sebesar Rp 191,9 triliun!
Ketiga, program jaminan pensiun dijalankan dengan prinsip manfaat pasti. Artinya, berapa pun iurannya maka manfaatnya akan diterima secara pasti oleh pekerja atau ahli waris (istri/suami, anak sampai usia tertentu). Dalam bahasa UU No 40 Tahun 2004 tentang SJSN, terdapat batas minimum dan masksimum manfaat yang akan diterima peserta.
Beda dengan program dana pensiun yang dijalankan penyelenggara DPLK dan DPPK berupa iuran pasti. Menurut Kasubdit PEP Ditjen Hubungan Industrial Kementerian Ketenagakerjaan Achmad Djunaidi, yang diterima pekerja atau ahli warisnya adalah akumulasi iuran ditambah hasil pengembangan. Nilai manfaatnya bisa tergerus oleh inflasi. Sehingga jumlah uang yang diterima kelak nilainya tidak sebanding dengan manfaat yang bakal diterima saat pensiun.
Pada skema jaminan pensiun, kata Djunaidi, nilai manfaat uang diiur saat ini akan sama dengan nilai saat pensiunnya nanti. Misalnya uang yang diiur saat ini bisa membeli 10 gram emas, maka pada saat pensiun 15 – 20 tahun kemudian, uangnya tetap senilai 10 gram emas.
Keempat, peserta yang telah pensiun tetapi masih dipekerjakan maka yang bersangkutan dapat memilih untuk menerima manfaat pensiun pada saat mencapai usia pensiun atau pada saat berhenti bekerja. Hal ini dipertegas dalam PP 45/2015 tentang Penyelenggaran Program Jaminan Pensiun.
Menganalisa data itu maka ke depan, program jaminan pensiun akan menjadi magnet utama bagi masyarakat pekerja untuk ikut program jaminan sosial ketenagakerjaan secara menyeluruh. Jadi, pekerja ikut program BPJS Ketenagakerjaan karena termotivasi adanya program jaminan pensiun. Ibaratnya, motivasi TKI mau kerja di Arab Saudi karena ada harapan untuk melaksanakan ibadah umroh atau haji. Ikut program jaminan pensiun karena kebutuhan, bukan semata – mata karena sifatnya wajib.
MASALAH KRUSIAL
Jaminan pensiun memang menjadi harapan pekerja agar di masa tuanya tetap berpenghasilan dan hidup sejahtera dan pekerja dapat mempertahankan derajat kehidupan yang layak, seperti yang diinginkan UU tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).
Pemerintah pun, termasuk badan penyelenggaranya, BPJS Ketenagakerjaan , berharap dengan program jaminan pensiun ini maka negara telah hadir dalam memberikan pelayanan dan perlindungan pada warganya,khususnya menyejahteraan pekerja di masa pensiun.
Namun apakah kedua hal itu telah tercermin pada program jaminan pensiun saat ini?
Semula, saat program ini tengah dirancang sebelum keluar Peraturan Pemerintah (PP) No 45 tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Pensiun, seluruh stockholder ketenagakerjaan yaitu Kementerian Ketenagakerjaan, ILO, Dewan Jaminan Sosial Nasional ,dan BPJS Ketenagakerjaan serta sejumlah serikat buruh/pekerja dan diperkuat kajian akademik, iuran jaminan pensiun adalah 8 % dan upah maksimum yang dilaporkan sebesar Rp 10 juta.
Dengan angka iuran 8% manfaat pensiun yang dapat diterima pekerja saat pensiun sekitar 40% dari nilai gaji terakhir berdasarkan manfaat pasti yang akan diterima setiap bulan. Dengan hitungan batas atas Rp 10 juta, maka pekerja bergaji Rp 20 juta ke atas, nilai iuran 8% tetap dikalikan Rp 10 juta.
Namun yang terjadi kemudian adalah, PP No 45 tahun 2015 menetapkan iuran jaminan pensiun sebesar 3%. Ditanggung pemberi kerja 2% dan iuran dibayar pekerja 1%. Sedangkan batas paling tinggi upah dilaporkan sebesar Rp 7 juta setiap bulan.
Dengan kecilnya iuran, maka dipastikan manfaat yang bakal diterima pekerja saat pensiun juga akan kecil.
Padahal, menurut perhitungan para ahli dana pensiun dan aktuaria, dengan iuran 8% saja manfaat bulanan yang diterima pekerja saat pensiun hanya 30% dari gaji pokok terakhirnya. Itu artinya secara ekonomis, pensiunan tersebut hidup pas – pasan.
Dengan iuran hanya 3%, maka dipastikan pula tidak banyak manfaat bagi pekerja di hari tuanya.
Dalam PP 45/2015 memang dibuka ruang untuk memperbaharui jumlah iuran dan upah yang dilaporkan sebagai batas tertinggi setidaknya setiap 3 tahun sekali. Namun tidak ada jaminan akan terjadi lonjakan signifikan jumlah iuran, setidaknya mendekati angka 8% apalagi di atas itu. Hal itu bisa diprediksi karena begitu kerasnya “pertarungan” kepentingan bisnis pengelolaan dana pensiun dibalik penentuan prosentase iuran jaminan pensiun BPJS Ketenagakerjaan. Bayangkan dengan hanya menyelenggarakan dana pensiun bagi 3,6 pekerja, DPPK dan DPLK asetnya menembus angka Rp 191,9 trilun. Ini bisnis menggiurkan.
Pengusaha sendiri menemukan momentum emas terjadinya pelambatan ekonomi menjadi alasan kuat menekan iuran jamian pensiun sekecil mungkin (3%) agar usaha tetap jalan dan dapat mengiur dana kesejahteraan buruh untuk Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Kematian dan Jaminan Hari Tua dan Jaminan Pensiun.
Kecilnya iuran jaminan pensiun ini melengkapi derita panjang badan penyelenggara jaminan sosial ketenagakerjaan sejak masih berbentuk PT Jamsostek hingga bertransformasi menjadi BPJS Ketenagakerjaan. Kecilnya iuran membuat badan penyelenggara tidak bisa menghimpun dana besar untuk menggerakan perekonomian nasional. Lihat Singapura dan Malaysia, dengan jumlah pekerja sedikit, tetapi mampu menghimpun dana besar hingga bisa membeli perusahaan di luar negeri, seperti perusahaan telekomunikasi di Indonesia.
Dibanding dengan negara – negara tetangga, jumlah iuran jaminan pensiun di Indonesia memang kelewat kecil, hanya 3%. Di Singapura iurannya sebesar 33% dengan 22% dibayar perusahaan pemberi kerja, sementara 11% di iur oleh pekerja. Di Malaysia, iuran jaminan pensiun sebesar 23%, dibayar pengusaha sebesar 12%, sisanya 11% di iur pekerja.
Di tengah kecilnya iuran jaminan pensiun dan iuran tiga program lainya, namun patut diapresiasi performa dan kinerja BPJS Ketenagakerjaan yang mampu tampil sebagai perusahaan nasional berkelas dunia dalam hal pelayanan.
Dilaporkan, pada akhir Oktober 2015, target yang ditetapkan 2015 mendekati pencapaian. Untuk penerimaan iuran mencapai Rp 27,89 triliun, atau 81,19 persen dari target sebesar Rp 34,35 triliun.
Untuk kepesertaan telah mencapai 19.034,658 peserta atau setara dengan 99,66% dari target 2015. Dana investasi yang dikelola BPJS Ketenagakerjaan sebesar Rp 198,64 triliun dengan hasil investasi Rp 14,71 triliun, dan pembayaran jaminan Rp 11,1 triliun.
Masalah krusial lain yang dihadapi BPJS Ketenagakerjaan adalah batas usia pensiun 55 tahun. Pada PP 45/2015 usia pensiun ditetapkan 56 tahun dan mulai 1 Januari 2019 menjadi 57 tahun dan setiap 3 tahun berikutnya batas usia pensiun bertambah 1 tahun.
Soal ini menjadi krusial sebab berdasarkan perhitungan BPS, harapan hidup orang Indonesia kini mencapai 70 tahun. Artinya, jika pekerja pensiun 56 tahun maka badan penyelenggara memberikan manfaat hingga 14 tahun.
Para ahli jaminan sosial mengemukakan, kendala utama dalam penyelenggaraan jaminan pensiun adalah kecilnya jumlah iuran, masa mengiur singkat dan masa membayar manfaat cukup lama. Jika ketiga hal ini terpenuhi maka hal ini berpengaruh terhadap fiskal dan integritas pasar keuangan.
Maka untuk pelaksanaan program jaminan pensiun ke depan diperlukan langkah – langkah berani dan radikal untuk menghilangkan tiga unsur itu.
PERLUASAN KEPESERTAAN
Ada hal menarik menganalisa data unsur kepesertaan jaminan sosial selama 3 bulan terakhir. Dari 4,6 juta peserta itu, ternyata 25% diantaranya adalah peserta dari perusahaan berskala mikro, kecil dan menegah (MKM). Data yang diperoleh di Kementerian Ketenagakerjaan atas laporan/data dari BPJS Ketenagakerjaan seperti dikemukakan Kasubdit PEP yang sebelumnya menjadi Kasubdit Jamsos Achmad Djunaidi, sebanyak 25% (1.150.000) pekerja ikut program jaminan pensiun dari perusahaan tergolong MKM.
Data ini cukup mengejutkan. Sebab dalam 4 program jaminan sosial, termasuk jaminan pensiun dilakukan penahapan kepesertaan (Perpres No 109). Tahap pertama sejak 1 Juli 2015 yang akan disasar adalah skala usaha besar dan menengah. Perushaan besar adalah perusahaan swasta nasional, swasta patungan dengan asing, BUMN. Sedangkan perusahaan skala menengah memiliki kekayaan bersih Rp 500 juta – Rp 10 miliar, tidak termasuk tanah & bangunan tempat usaha. Memiliki hasil penjualan tahunan Rp 2,5 miliar – Rp 50 miliar.
Direktur Utama BPJS Ketenagakerjaan Elvyn G. Masasya menterjemahkan ketentuan ini dengan melakukan pentahapan kepesertaan jaminan pensiun dimulai dari perusahaan yang mempunyai 50 pekerja terlebih dahulu, dengan beberapa kriteria tambahan, seperti jumlah asset dan omzet.
Meski tidak masuk dalam radar pentahapan kepesertaan, pada tahap awal ini justru usaha berskala mikro, kecil dan menengah antusias menjadi peserta jaminan pensiun. UU No 20 Tahun 2008 Tentang UMKM memberi kriteria usaha mikro adalah yang memiliki asset maksimal Rp 50 juta dan omset Rp 300 juta. Sedangkan usaha kecil beraset Rp 50 juta – Rp 500 juta dengan omset Rp 300 juta – Rp 2,5 miliar.
Fenomena ini harus jeli dibaca oleh BPJS Ketenagakerjaan untuk fokus menjangkau pelaku usaha MKM. Bagi pelaku usaha MKM, ikut program jaminan pensiun merupakan kebutuhan, berapa pun jumlah iurannya.
Pertumbuhan usaha mikro dan kecil pada dua tahun terakhir tumbuh pesat bak jamur di musim hujan. Data di situs Kementerian Koperasi dan UMKM menunjukkan jumlah usaha mikro tahun lalu sebanyak 57.895721 buah meningkat dari tahun sebelumnya sebesar 55.856.176 dengan melibatkan tenaga kerja sebanyak 104.624.466 orang.
Sedangkan usaha kecil berjumlah 654.222 buah dan tahun sebelumnya sebanyak 629.418 buah dengan melibatkan tenaga kerja sebanyak 5.570.231 orang.
Pesatnya pertumbuhan usaha MKM tidak terlepas keluarnya Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No 19 Tahun 2012 yang membatasi pekerja outsourcing hanya pada 5 jenis pekerjaan yaitu hanya pekerja kebersihan, keamanan, catering, transportasi untuk pekerja dan pekerjaan penunjang di bidang perminyakan serta pertambangan.
Akibatnya, sebagian besar perusahaan besar dan menengah melakukan pemborongan pekerjaan pada perusahaan mikro dan kecil. Lepas dari baleid pemerintah mengeluarkan Permen 19/2012 itu, kini pemborongan pekerjaan telah diindetifikasikan secara formal sebagai strategi bisnis.
Tingginya persaingan dan tuntutan efisiensi membuat manajemen berkonsentrasi pada bisnis intinya dan melakukan pemborongan pekerjaan pada pihak lain untuk mengerjakan komponen penunjang. Umumnya perusahaan – perusahaan itu bersakala mikro, kecil dan menengah.
Dengan pemborongan pekerjaan pada perusahaan berskala mikro,kecil dan menengah, maka risiko investasi akan terbagi lebih kecil begitupula risiko financial dan operasional.
Karena itu, satu perusahaan inti memborongkan pekerjaan pada puluhan perusahaan lain. Masa kontraknya pun cukup panjang, setidaknya 2 – 5 tahun dan terus diperpanjang.
Jika BPJS Ketenagakerjaan fokus membidik perusahaan penerima pemborongan pekerjaan ini saja maka akan terjadi lonjakan kepesertaan secara masif dan makin banyak pekerja dari perusahaan skala MKM yang terlindungi jaminan sosialnya.
SARAN DAN MASUKAN
Agar pelaksanaan program jaminan pensiun dapat berlangsung sehat, jangka panjang, tidak menganggu fiscal, badan penyelenggara dapat menghimpun dana besar dan manfaatnya dirasakan mensejahterakan pekerja pada usia tuanya, maka perlu dilakukan langkah berani dan radikal yaitu:
Pertama, PP 45 tahun 2015 harus direvisi terutama menyangkut besaran iuran menjadi 8 % dan selanjutnya besarannya ditingkatkan tiap 3 tahun hingga manfaatnya mencapai 60% dari upah terakhir; Usia pensiun 56 tahun diubah menjadi 60 tahun dan dapat diperpanjang satu tahun setiap tahun hingga mencapai 65 tahun. Masa iur selama 15 tahun diperpanjang menjadi 20 tahun.
Kedua, segala aturan yang membuka peluang memperpendek masa iur jaminan pensiun, seperti ketentuan pencairan satu bulan JHT setelah “PHK”, harus dicabut. Aturan itu membuat pekerja mendaftar ulang kepesertaanya pada usia tidak muda lagi.
Ketiga, untuk memperluas kepesertaan maka perlu merevisi penahapan kepesertaan dengan memfocuskan usaha MKM. Terdapat 700.000 perusahaan mikro dan kecil dan puluhan pekerja sebagai potensi kepesertaan.
Menyisir perusahaan penerima pemborongan pekerjaan. Caranya, penyisiran dan pendataanya dilakukan melalui ketentuan UU NO 7 Tahun 1981 Tentang Wajib Lapor Perusahaan. Setiap tahun perusahaan wajib melaporkan data ketenagakerjaan di perusahaan pada pegawai pengawas ke instansi ketenagakerjaan.
Maka saat wajib lapor itu diwajibkan untuk melaporkan data pekerja dan perusahaan penerima pemborongan pekerjaan. Perusahaan peemberi pemborongan pekerjaan tidak akan menghindar memberikan data, sebab pegawai pengawas ketenagakerjaan akan menjadikan data wajib lapor ini sebagai pintu masuk untuk memeriksa seluruh kondisi ketnagakerjaan di perusahaan itu.
Keempat, untuk meningkatkan besaran penerimaan iuran, maka BPJS Ketenagakerjaan harus terlibat agar perusahaan menerapkan struktur dan skala upah di perusahaan sesuai ketentuan dalam PP No 78 tahun 2015 tentang Pengupahan.
Beleid baru yang menjadi topik hangat dikalangan buruh itu, mewajibkan perusahaan menerapkan struktur dan skala upah. Sistem ini membuka peluang bagi pekerja memperoleh upah besar dengan menghitung dan mempertimbangkan masa kerja, tingkat pendidikan, produktivitas dan kinerja perusahaan.
Dengan upah besar, maka iuran pun akan membesar. BPJS Ketenagakerjaan dapat mengambil peran dengan melakukan pelatihan baik berupa training of trainer (TOT) atau bimbingan teknis (bimtek) pada pengurus serikat buruh/pekerja dari tingkat pusat hingga pengurus unit kerja di perusahaan tentang struktur dan skala upah.
Sehingga pekerja dapat berunding dengan pengeahuan sebanding dengan pengusaha. Pelatihan juga dapat diberikan pada perusahaan – perusahaan yang tidak memahami pelaksanaan struktur dan skala upah.
Penyelenggaraan program jaminan pensiun yang mensejahterakan pekerjanya di masa tua mencerminkan tingkat kesejahteraan suatu negara. Maka program jaminan pensiun oleh BPJS Ketenagakerjaan dipersembahkan untuk Indonesia yang lebih baik.***